Aku ingin membiarkan rindu menenangkan dirinya. Sambil mengenalkannya pada lara yang menjadi sahabat paling karib saat ini. Di tepian mana lagi kita menepi. Mencoba berbaur dengan nelangsa yang siap menerkam hari-hari nanti. Walau seberapa jauh kau mencoba membutakan langkah. Hati ini tetap tahu kemana harus berpulang.
Bukan pada dirimu. Melainkan pada rindu yang telah mendewasa. Yang memilih bisu ketika harus berbicara. Tentang rindu. Semua masih sama tentang kau. Menyelisih jarak yang tidak ada ujungnya dan bergelayut pada sarang-sarang kenaifanku. Sungguh, andai rindu bisa kubagi. Jelas tak kan kubagi untukmu.
Secangkir kopi mencoba membenci kita. Sayup sayup kudengar ia meneriakkan kebencian dari riak yang dangkal. Jelas mereka bersaksi untuk rindu yang selayaknya harus berguguran. Tepat di antara jejas-jejas yang kita ukir bersama.
Kemarin. ketika kau memilh melepaskan seutas tali, yang menjadi simbol keutuhan dari dua buah sepatu. Berjalan beriringan namun tak pernah bersatu. Mungkin rindu yang kualamatkan padamu tak pernah sampai. Karena ia telah mengakhiri hidupnya di depan pintu rumahku.
Di pintu rumahku yang menunggu ketukanmu. Bergegaslah untuk memulai tapak pertama, barangkali kau salah arah. Disanalah arahku, yang menunggu tanpa jenuh. Kau tak perlu khawatir, tidak ada yang paling kuat menarik rindu selain do’a. Dan jelas, kita mampu menunggu untuk keadaan dan ketiadaan yang diukir-Nya.
#day3